TANPA air dan hutan, legenda keindahan Malino yang ada sejak 1927 mungkin sudah sirna. Lalu siapa yang menjaga air dan hutan Malino?
Aris Rinaldi
Bulutana, Malino
Beautiful Malino 2025 dibuka dengan siraman tujuh mata air yang ada di Malino. Ini adalah siraman sakral. Penanda bahwa air dan hutan menjadi sumber kehidupan utama di Malino.
Penulis mencoba bergeser sedikit dari meriahnya Beautiful Malino 2025. Tidak jauh dari titik keramaian, ada kawasan adat Bulutana. Jaraknya hanya sekitar enam kilometer dari hutan pinus Malino.
Masyarakat yang bermukim di kawasan adat inilah yang berperan banyak menjaga hutan dan air di Malino. Mereka menjadi pelindung. Menjaga Malino secara turun temurun dengan kearifan lokalnya.
Kawasan adat Bulutana memiliki mekanisme adat tersendiri dalam pengelolaan air dan hutan. Mekanisme ini sudah berlaku, jauh hari sebelum 1927. Sebelum Malino yang dulunya bernama Lapparak dijadikan tempat beristriahat para pejabat pemerintahan Belanda.
Siang itu, Minggu, 13 Juli 2025. Arifin dan tiga orang lainnya sedang duduk santai di samping Balla Lompoa. Ada beberapa gelas berjejer, ada cerek berisi kopi. Mereka sedang beristirahat, usai bekerja bakti bersama.
Gotong royong memang salah satu ciri utama warga di Bulutana. Gotong royong dilakukan jika ada hal yang harus dikerjakan bersama-sama di kampung ini. Misalnya jika ingin mencetak sawah atau pengelolaan sawah.
“Kalau di daerah lain, orang mau cetak sawah itu mahal. Di sini, tidak begitu. Dikerjakan ramai-ramai,” kata Arifin.
Arifin mengenakan topi dan pakaian kebun lengkap dengan sebilah parang yang diikat di pinggang saat penulis bertemu dia. Hari itu, kebetulan saja, Bupati Gowa, Siti Husniah Talenrang datang di Balla Lompoa dan Balla Jambua. Rumah ini, adalah rumah adat yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.
Kedua rumah ini ada di Kampung Butta Toa. Secara harafiah, Butta Toa adalah tanah tua. Butta Toa ini adalah kawasan adat utama Bulutana.
Di kampung Butta Toa ini, sepanjang hari terasa dingin. Ia berada di ketinggian 1.200 mdpl. Di lokasi ini, pemandangan indah, lembah dan pegunungan hijau berikut sungai-sungai, terselimut kabut.

Ketika kami memasuki Butta Toa, suasana sangat sepi. Sangat jauh berbeda dengan Malino yang penuh keramaian dan kemeriahan. Di Butta Toa, hanya beberapa orang yang lalu lalang, seperti baru pulang dari sawah. Pakaian penuh lumpur dan membawa cangkul.
Balla lompoa atau rumah besar, ini pertama penulis datangi. Ia salah satu dari dua rumah utama dari komunitas ini. Balla berarti rumah, lompoa adalah besar. Rumah ini kediaman Gallarang, pemimpin legislatif adat. Posisinya mirip Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tidak jauh dari tempat itu, ada Balla Jambua. Rumah ini adalah rumah milik karaeng. Karaeng adalah sang pemimpin utama di wilayah itu. Balla Jambua diambil karena tiangnya yang dibuat dari batang pohon nangka. Pohon nangka di Bulutana disebut juga dengan nama Jambua.
“Tiangnya dari pohon nangka. Sudah bertahun-tahun tetapi tetap kuat. Kalau di sini, pohon nangka itu namanya Jambua,” kata kepala Lingkungan Butta Toa, Muh Saleh.
Abdul Hakim Dg Bali banyak memberikan informasi tentang kampung Butta Toa. Bagi masyarakat sekitar, Abdul Hakim adalah tokoh adat. Tetapi dia tidak ingin disebut sebagai tokoh adat.
“Kalau saya tidak usah disebut tokoh adat. Sebut saja sebagai warga Butta Toa,” kata dia.
Abdul Hakim mengakui, kawasan adat Butta Toa adalah jantung dari Malino. Bisa disebut, Butta Toa adalah pusat kearifan lokal di Malino. “Pusatnya di Butta Toa itu,” kata dia.
Abdul Hakim menyebut di komunitas adat Butta Toa, ada yang disebut dengan adat 12. Stuktur adat yang terlembagakan dalam 12 bersifat fungsional, selain mengatur tatanan sosial masyarakat, juga berperan pada setiap ritual.
Dalam struktur adat 12 ini, ada yang disebut dengan nama Pinati. Dialah yang berfungsi mengatur lalu lintas air di daerah itu.
“Kalau Pinati ini fungsinya seperti menteri pertanian. Kalau ada irigasi yang mau gotong royong, atau ada irigasi yang perlu dibenahi, ada peran Pinati yang mengarahkan,” kata dia.
Pinati ini memiliki banyak peran vital dalam kaitan ketersediaan dan distribusi air, termasuk menengahi konflik air antara petani. Pinati juga memiliki wewenang memutuskan sanksi bagi mereka yang melanggar hukum adat terkait air dan hutan.
Untuk menjaga agar hutan sekitar sungai tetap terjaga, komunitas ini memiliki cara unik. Ada aturan adat yang wajib dipatuhi. Salah satunya, tidak boleh sembarangan menebang pohon. Menebang pohon, bagi mereka adalah sebuah hal yang sakral. Menebang pohon, hanya bisa dilakukan setelah mendapat persetujuan dari dewan adat.
Tidak hanya pohon yang tidak boleh ditebang. Bambu juga sama sekali tidak boleh disentuh sembarangan. Bambu yang ada di kawasan itu sengaja disimpan untuk kebutuhan Balla Lompoa dan Balla Jambua.
“Tanaman bambu yang ada di situ hanya untuk Balla Lompoa dan Balla Jambua. Itu diperbaiki setiap lima tahun atau tujuh tahun. Tergantung, kalau kondisi atapnya sudah rusak, kami gotong royong lagi untuk memperbaiki,” kata dia.
Bulutana memiliki kawasan hutan keramat bernama Parangtajju. Ada banyak mitos di hutan ini. Warga tidak boleh sembarangan memasuki area Parangtajju. Konon, Raja Gowa pernah melalukan suatu hal di kawasan ini sehingga Parangtajju menjadi sebuah wilayah yang sakral.
Hutan ini dibiarkan tidak tersentuh sejak dahulu kala. Tidak boleh tersentuh sedikitpun. Jangankan menebang pohon, masuk di kawasan ini tidak boleh sembarangan. Kecuali ada ritual adat dan keagamaan.
“Kalau tentang Parangtajju itu panjang ceritanya. Ada banyak mitos. Raja Gowa pernah melakukan sesuatu di tempat itu. Tempat itu, tempat sakral,” kata dia.
Meriam dan Keberadaan Butta Toa

Arifin berdiri dari tempat duduknya. Dia mengendarai sepeda motornya, dan mengajak penulis melihat sebuah meriam kuno.
Meriam kuno ini terletak tidak jauh dari Balla Lompoa. Sekitar 50 meter, di dekat permukiman warga. Keberadaan meriam kuno ini disebut sebagai tanda bahwa Butta Toa pernah menjadi benteng.
Meriam itu dikelilingi bunker yang terbuat dari beton yang sangat tebal. Arifin dan warga sekitar menduga meriam itu dibuat sejak zaman penjajahan Jepang.
Meriam ini punya gerigi. Bisa bergerak naik dan turun. Juga punya roda lahar di bagian bawah yang memungkinkan meriam ini bergerak ke kiri dan ke kanan. Sayangnya, roda dan gerigi ini sudah berkarat sehingga pergerakannya sudah tidak bisa dilakukan.
Meriam ini mengarah ke wilayah perkotaan Malino. Arifin menunjuk ke arah hutan, di sana terlihat sebuah jalan kecil.
“Itu di sana ada jalanan. Kalau meriam ini meledak, jalanan yang ada di sana bisa putus,” kata dia.
Dia juga menyebut, konon dulunya masih ada banyak meriam-meriam kecil. Hanya saja, saat ini, sudah sulit ditemukan lagi. Kemungkinan besar sudah tertimbun atau berada di bungker-bungker lainnya.
Keberadaan meriam ini semakin memperkuat jika Kampung Butta Toa, di Bulutana adalah kampung tua yang sudah ada sejak lama. Balla Lompoa dan Balla Jambua adalah bukti fisik keberadaan adat yang menjaga Malino dengan kearifan lokal.
Sejarah Malino

Dalam catatan Wikipedia, sebelum muncul nama Malino, dulu rakyat setempat mengenalnya dengan nama kampung ‘Lapparak’. Laparrak dalam bahasa Makassar berarti datar, yang berarti pula hanya di tempat itulah yang merupakan daerah datar, di antara gunung-gunung yang berdiri kokoh.
Kota Malino mulai dikenal dan semakin popular sejak zaman penjajahan Belanda, lebih-lebih setelah Gubernur Jenderal Caron pada tahun 1927 memerintah di “Celebes on Onderhorighodon” telah menjadikan Malino pada tahun 1927 sebagai tempat peristirahatan bagi para pegawai pemerintah.
Sejak saat itulah, Malino mulai dikenal sebagai tempat wisata. Pada masa itu, Malino mulai ditanami pohon pinus yang ada sampai saat ini.
Catatan kompas menyebutkan jika pada saat Jepang masuk ke Makassar pada tanggal 9 Februari 1942, Malino menjadi tempat pengungsian anak-anak dan perempuan Belanda.
Pada tanggal 15 Juli hingga 25 Juli 1946 berlangsung konferensi di Malino atau yang dikenal juga dengan Konferensi Malino. Konferensi tersebut diselenggarakan oleh Hubertus Johannes van Mook, Letnan Gubernur-Jenderal setelah pihak Sekutu menyerahkan ke pihak Belanda urusan keamanan di luar Jawa dan Sumatera.
Konferensi di Malino yang melibatkan 39 pihak dari Kalimantan (Borneo), Grote Oost (selanjutnya menjadi Negara Indonesia Timur), dan Belanda, dipimpin oleh Van Mook, untuk membicarakan pembentukan Negara Indonesia Serikat pada Juli 1946 (Tropenmuseum)
Dalam konferensi tersebut, pihak Belanda telah menghadirkan pribumi yang memenuhi syarat dan dapat bekerja sama. Ada 39 peserta yang hadir dari 15 daerah dari Kalimantan dan Timur Raya.
Dalam konferensi tersebut dibahas mengenai bagaimana daerah-daerah tersebut diberikan dalam susunan negara yang baru. Pembahasan lainnya berupa pembentukan negara-negara bagian berbentuk federasi, serta rencana pembentukan negara yang terdiri dari daerah Indonesia bagian Timur.
Pemilihan Malino sebagai tempat konferensi karena Sulawesi Selatan berada di wilayah yang strategis, baik secara politis, geografis, dan ekonomis, Van Mook sekaligus ingin memperlihatkan kepada dunia luar bahwa pemerintah Belanda telah berhasil menguasai Sulawesi Selatan, secara politik maupun wilayah.
Meriah Beautiful Malino 2025

Tahun ini, kita kembali menikmati keindahan di Malino melalui Beautiful Malino 2025. Ratusan ribu penggunjung memadati Malino yang indah ini.
Keindahan ini tidak terlepas dari peran adat 12 Bulutana, yang terus menjaga hutan dan air di Malino. Mereka menjaga Malino tetap sejuk, dengan hutan yang luas, dengan air yang berlimpah. Dengan kearifan lokal, para adat 12 ini menjaga nadi Malino dan memberikan kehidupan dan kebermanfaatan.
Bupati Gowa, Husniah Talenrang membuka Beautiful Malino dengan menyampaikan ucapan selamat datang kepada seluruh pengunjung.
“Dengan Beautiful Malino ini kami menginginkan kebudayaan yang merupakan kekayaan Gowa ini kita angkat kembali. Sehingga menjadi terkenal dan bersejarah bagi anak-anak kita, tidak ketinggalan dengan leluhurnya,” jelasnya.
Ia juga mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Kebudayaan, Pariwisata, Kementerian Ekonomi Kreatif, serta Gubernur Sulsel dan sponsor yang telah mendukung terselenggaranya Beautiful Malino.
Tahun ini, Beautiful Malino digelar selama lima hari dengan mengusung tema Color of Culture.
“Ini adalah ajang dan awal bagi kami untuk memperkenalkan budaya, pariwisata, dan kearifan lokal Gowa,” ucapnya.
“Di Malino kita akan menemukan warna baru semua,” jelasnya.
Festival Beautiful Malino juga diharapkan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Gowa.
Ia menyebutkan, Beautiful Malino bisa menjadi contoh bagi kabupaten lain di Sulsel. Festival tahunan ini juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di Gowa, tetapi juga di wilayah Sulsel secara umum.
“Kita berharap kegiatan ini terus berlanjut bahkan lebih besar lagi dan dapat dihadiri bukan hanya dari Sulsel, tetapi juga dari luar Sulsel,” kata dia.
Direktur Politeknik Pariwisata, Hariwijaya, menuturkan bahwa event ini merepresentasikan kekayaan seni dan budaya melalui berbagai ekspresi.
“Ini juga merupakan wujud nyata sebuah inovasi antara seni budaya dan pariwisata yang dimiliki Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan melalui perwujudan event yang berkualitas. Dengan demikian Beautiful Malino memiliki peran penting dalam mendorong promosi serta potensi Sulsel dan khususnya Gowa,” jelasnya.
Ia juga mendorong agar ke depan, Beautiful Malino bisa masuk dalam daftar Karisma Event Nusantara (KEN).


Leave a Reply